Rabu, 27 Juli 2016

Nice Ramadhan

Assalamu'alaikum Thika,

Couple nights ago, I noticed how the Ramadan moon was fading and soon it'll disappear..
At first, a feeling of sadness overcame me as I realized how soon Ramadan will end and the beautiful spiritual nights of Ramadan would be over..

But on second reflection, it occurred to me that sadness is not the right feeling that we should harbour in our hearts during these last nights... rather we should harbour the feelings of great Hope in Allah's Mercy that He accepts from us this Ramadan as well as great Fear that we might lose out on His Mercy if we are not of those who are accepted.

These two feelings - Hope & Fear - should guide us in these last few nights of Ramadan; whenever we feel that we're not doing enough because we’re overwhelmed or busy with other responsibilities in life, we should have good Hope in Allah's Mercy that He accepts whatever little we do and multiplies it for us.. and whenever we feel that we're doing a lot, or are starting to feel lazy about doing more, we should have Fear that maybe our deeds may not be accepted due to lack of sincerity and we should strive extra hard..

Thika, the Ramadan moon may be fading.. but Allah SWT is Everlasting and we should aim to make the most of the remaining days and nights of this month with full Hope & Fear of Allah (SWT)..
In the end, please remember me, my family, and the ProductiveMuslim team in your duas. I hope you’re finding these series helpful. We really want you to have an amazing Ramadan - and we’ll be with you everyday to support you with that inshaAllah.

JazakumAllah khair for reading these emails..please do share with your family and friends.

Sincerely,
Your brother,
Mohammed Faris

Senin, 30 Mei 2016

Bakti Sosial BSMI, 29 Mei 2016 :D

Masih terlalu terasa.
Masih terlalu jelas.
Wajahnya.
Dia Yakawi, bukan Jokowi. Ketika mendengar namanya, mayoritas orang salah dengar. Yakawi, panggilannya Awi. Adek lucu kecil dengan rambut agak keriting menggulung. Masuk ruang sirkumsisi dengan wajah takut sambil memeluk sarung barunya. Dihampiri sebentar, diajak ngobrol, masih bisa tertawa ternyata. :D
Gambar itu, ketika kami sedang mengamati objek-yang-mau-disunat. Ada sedikit kelainan di sana, phimosis kalo ga salah. Tiba-tiba datang seorang abang-abang, melihat kemaluan adek tersebut, terjadi percakapan singkat, dan akhirnya abang tersebut bilang, “Thika aja yang sirkum, belajar.” Dengan tampang datar tapi ga bisa diinterupsi lagi.
Panik. Ya panik maksimal. Bagaimana mungkin masa depan adek tersebut “digantungkan” ke mahasiswa tahun 2? Bahkan menyuntik orang secara langsung aja baru 1x, waktu tahun 1. Itupun suntukan di bawah kulit yang jarumnya masih bisa dilihat. Kapan terakhir megang spuit (jarum suntik)? Lupa.
Akhirnya dengan segala perasaan yang campur aduk, pasrah pada yang di atas. Ya, klasik. Pada posisi yang mengerikan, mayoritas manusia akan teringat pada  Tuhannya.
“Peganglah itu nya,” kata si Abang.
Dengan segala doa yang terucap di hati, yak akhirnya di pegang juga. Dan dicari bagian yang mau disuntiknya. Kata kakak yang membimbing, di sana.
Haaaaah, udah gatau lagi gimana mengungkapkan perasaan ini. Ternyata ini lebih mendebarkan daripada “jatuh cinta” jaman SD dulu, hahaha *aseeeeek
Untung aja tangan ini ga tremor alias ga bergetar-getar..
Jarumnya menembus kulit, semakin dalam dan semakin dalam, ntah di mana dia berada. Otak ini berusaha membayangkan si jarum udah sampe mana.
“udah kerasa sensasi menusuk kertasnya, dek?” tanya kak Della.
“Belum kak.” (berusaha menenangkan diri)
“Yaudah tusuk. Cari sampe ketemu.” Kata si abang, lalu memalingkan wajah ke arah lain, seolah mengisyaratkan ‘pokoknya kamu harus bisa, ga ada tapi-tapi.’
Cuma bisa diam, sambil berusaha mencari. Keringat udah banjir. Banjir sebanjir-banjirnya. Setara dengan orang yang lari keliling stadion 3 keliling, rasanya.
“Ga ketemu bang. Gimana bang?”
Terjadi diskusi...
“Cabut jarumnya, tusuk agak ke bawah setek.” Kata si abang akhirnya.
“Cabut lagi bang?” (Sambil mencabut jarumnya dan membayangkan perasaan di adek ditusuk dua kali. Ya Allah, maafkan kakak dek ._. )
Selesai mencabut jarum, waktu mau nusuk di tempat lain, terlihat muka si adek yang benar-benar cemas. Cemas, sangat cemas. Tangannya digenggamnya. Kain sarungnya digigit, mungkin untuk menahan sakit dan takut. Tapi beliau berusaha diam. Tampak air mata di sudut matanya. Deg! Beliau menatap langit-langit dengan penuh ketakutan, dan menangis dalam diam.
“Awiiii, aman wi? Sebentar ya kakak liat dulu.” Berusaha agar adek tersebut merasa ada “kawan” di sana. Cuma memanggil nama dan ngomong sedikit, itu yang bisa kulakukan saat itu. Ga bisa ngobrol panjang dan menanyakan kehidupan mereka seperti kalo aku jadi runner.
Apa itu runner? Biasanya sirkumsisi massal atau yang dikenal dengan sunnatan massal di sini, ada ‘runner’ yang akan mengajak adek yang disunat mengobrol, agar nyeri yang terasa ketika disuntik itu teralihkan. Tapi, sekarang ga ada. Ga ada.
“Kali ini sensasi menusuk kertas itu harus ketemu, jangan sampe Awi merasakan sakit untuk yang kedua kalinya. Bayangkan itu kamu, Thika. Cari!” monolog ku terhadap diri sendiri.
Bismillah, akhirnya ditusuk lagi. Deg! Astaghfirullah belum terasa. Kutusuk lagi sedikit ke bawah. Terasa! Alhamdulillah.
“Terasa kak,”
“Aspirasi, jangan sampe ada darah, terus suntik setengah cc,” kata Kak Della.
“udah kak.”
“Nah, miringkan 45 derajat. Cari sensasi menusuk kertas lai,” kata abang itu.
“Menusuk kertas lagi bang?”
“Iya, cari sampe ketemu.”
Tidak! Kenapa harus mencari sensasi itu lagi. Ya Allah, rasanya seolah sedang berada di mana ini. Mau cepat-cepat berakhir. Keringat pun rasanya ga kering-kering meskipun udah di lap berkali-kali.
“ga ketemu bang.” Ucapku mulai cemas. Kulihat wajah Awi, ketakutan sambil memejamkan matanya. Kasian adik kecil itu. Tidak tega rasanya jika harus mengeluarkan jarum itu lagi dan menyakiti Awi lagi.
“Cari sampe ketemu. Ubek-ubeklah di dalam itu, kalo jarumnya di dalam ndak baa do diputa-puta,” ucapnya dengan bahasa Minangnya.
Ya, sakitnya jarum suntik itu hanya ketika menembus kulit bagian atas, karena di sana terdapat saraf nyeri. Tapi ketika sudah di dalam, ga akan terasa nyeri. Teringat kata dosen dulu.
Awi cemas, akupun cemas. Ya Allah, semoga ketemu.
Tek! Apakah ini rasanya? Ya.. sepertinya iya. Aku berusaha meyakinkan diri sendiri, “ketemu bang.”
“Aspirasi, terus injeksikan lah lagi.”
Akhirnya setelah 5 titik diinjeksi, bius pun selesai.
Di tes dulu apakah obat yang diberikan udah mulai bekerja dan cukup. Preputium (bagian ujung pen*s) Awi pun dijepit pake klem.
“Apa yang terasa wi? Sakit?” Awi menggeleng.
Terus pen*snya dan sekelilingnya ditarik perlahan, dicubit. Dan ditanya lagi, apa yang terasa?
Si adek menggeleng. Itu artinya, biusnya udah bekerja dan cukup. Sip, bisa mulai dibersihkan smegma nya (kotoran yang ada di belakang preputium), digunting, dijahit, dilihat ada perdarahan atau ga, di “make-up-in”, selesai!

Selesai, akhirnya!! Alhamdulillah..
itu kulit dan mukosa nyata pertama yang pernah ku jahit, kulit dan mukosa pertama yang pernah ku gunting dan berdarah..

Awi, adik kecil manis yang strong.. J
wajah cemasnya, bahkan sampai malam ini belum menghilang dari pikiran.

Ketika melihat pasien ketakutan sampe nangis dalam diam aja udah kepikiran, gimana kalo pasien meninggal?
Tiba-tiba terpikir kata-kata Bu Budi waktu SMA dulu, “Saya gamau jadi dokter karena saya ga kuat ngeliat pasien saya meninggal. Apa saya sanggup terus menerus berada dalam kesedihan?”

Haaaah, mungkin masih harus banyak berlatih..
Bukan berarti berlatih untuk membuat orang takut, pun berlatih untuk membuat orang meninggal.
Tapi, berlatih untuk menahan perasaan, berlatih untuk ikhlas, berlatih untuk hidup..
Bukan cuma di kegiatan semacam ini, tapi di semua lorong-lorong kehidupan..
karena selama hidup, kita... BELAJAR* ^^

*judul buku yang ditulis oleh mantan Ketua BEM UI.
#bukanPromosi

(udah terlalu panjang, mungkin akan bersambung... :D )

Minggu, 28 Februari 2016

Untukmu yang sedang kecewa...

Untukmu yang sedang kecewa padanya..



Tak perlu kau sembunyikan sedih itu.

Bahkan bumi pun menangis melalui hujan-Nya.



Sudahlah, luapkan saja segala kecewamu.

Meski hanya terlintas.

Meski hanya sepintas.

Meski kau belum yakin 100% persen atau kecewamu.



Untukmu yang sedang kecewa padanya..

Menangislah.

Menangis pada Tuhanmu di sepertiga malam ini.



Tidak?

Tak bisa lagikah air matamu keluar?



Untukmu yang sedang kecewa padanya..

Rasa sakit tanpa air mata itu begitu menyiksa, kan?

Mungkin, Tuhan hanya ingin memberitahu.

Bahwa Dia cemburu padamu.



Untukmu yang sedang kecewa padanya..

Redamlah rasa cinta itu.

Redamlah.

Karena Tuhan tak akan suka jika ada cinta yang melebihi cinta pada-Nya.



Untukmu yang sedang kecewa padanya..

Tidurlah.

Pejamkan matamu.

Biarkan dzikir temani sesak-hampanya hatimu.

Jumat, 12 Februari 2016

Lihat ke Belakang

Pedih rasanya, ketika kita tidak bisa lagi menegur orang yang dulunya hampir-tiap-hari kita tegur.

Pedih rasanya, ketika tiba-tiba semuanya seolah tidak pernah terjadi.

Pedih rasanya, ketika kita harus pura-pura lupa, bahwa sempat – pernah – menghadirkannya dalam hidup.

Pedih rasanya, setiap hari menaruh harapan yang sama pada Tuhan, berharap semuanya jadi lebih baik. Tanpa kepastian.

Pedih rasanya, mencintai yang tak seharusnya, dan menyandingkan cinta itu dengan cinta Tuhan.

Aku mengerti darimana pedih ini.
Aku tau, Tuhan cemburu. Ini seolah hukuman dari Tuhan karena telah membuatnya cemburu.
Memang pantas aku menerimanya. Tiap hari dihantui bayangan yang sama, yang sulit aku untuk menundukkan hati.

Tiap hari “terlihat” dosa yang sama, yang membuatku seringkali merasa tak pantas bahkan untuk berdiri di bumi.

Tak jarang, aku merindukan dosa itu. Terlebih ketika dia masuk menyelinap dalam mimpi. Seolah Tuhan meminta komitmenku untuk berhenti, dan mengujiku melalui mimpi itu. Hingga menyisakan jejak rindu yang sangat membekas. Meskipun hanya menghadirkanmu lewat mimpi.
Tapi sebagian hatiku yang lain memintaku untuk menghindar...

“Perang besar yang tak pernah usai, untuk saat ini.”

Untuk yang telah menorehkan kisah ini, terima kasih. Berkatmu, aku sempat merasa “hidup”.

Bahwa hidup memanglah hidup. Inilah kehidupan yang – ternyata – tak sepolos yang kubayangkan. 

Yang ternyata tak sesederhana yang kukira.

Yang – ternyata – cerita di novel-novel itu bisa nyata. Yang penuh warna. Yang segalanya.

Tanganku tak mampu menjangkau segalanya. Yang dekatpun tak seluruhnya terangkul, apalagi yang jauh?

Untukmu yang membuatku hidup. Untukmu yang selalu menghadirkan tanya di di hidupku, sejak 5 tahun yang lalu.

Apa kabar?

Semoga Tuhanmu dan Tuhanku – Allah – senantiasa menjaga dan menyayangimu disana :)

Biarlah kuserahkan semua pada Allah. Karena aku sadar, aku hanyalah manusia biasa.
Kalau esok aku harus pergi menemui-Nya, aku ingin, orang-orang di luar sana mengetahi cerita kita. Hanya cerita kita – bukan kita.

Karena ternyata, di luar sana banyak yang membutuhkan pengalaman kita.
Karena di luar sana, banyak yang membutuhkan kejelasan bahwa ini salah.
Karena di luar sana, banyak yang sedang berdarah – berusaha keluar dari jalan berduri INI menuju ke taman indah itu.
Karena di luar sana, banyak yang merasa sendiri.
Karena di luar sana, banyak yang tak henti-hentinya mencari pembenaran atas kesalahan yang dilakukannya.

Untukmu, terima kasih sudah membuka mata hatiku. Sungguh :”)


Aku harap, dosa kita tak sekedar sebuah kesalahan, tapi juga mampu tuk memutus mata rantai dosa orang lain. :)