Masih terlalu terasa.
Masih terlalu jelas.
Wajahnya.
Dia Yakawi, bukan Jokowi. Ketika mendengar namanya,
mayoritas orang salah dengar. Yakawi, panggilannya Awi. Adek lucu kecil dengan
rambut agak keriting menggulung. Masuk ruang sirkumsisi dengan wajah takut
sambil memeluk sarung barunya. Dihampiri sebentar, diajak ngobrol, masih bisa
tertawa ternyata. :D
Gambar itu, ketika kami sedang mengamati
objek-yang-mau-disunat. Ada sedikit kelainan di sana, phimosis kalo ga salah.
Tiba-tiba datang seorang abang-abang, melihat kemaluan adek tersebut, terjadi
percakapan singkat, dan akhirnya abang tersebut bilang, “Thika aja yang sirkum,
belajar.” Dengan tampang datar tapi ga bisa diinterupsi lagi.
Panik. Ya panik maksimal. Bagaimana mungkin masa depan adek
tersebut “digantungkan” ke mahasiswa tahun 2? Bahkan menyuntik orang secara
langsung aja baru 1x, waktu tahun 1. Itupun suntukan di bawah kulit yang
jarumnya masih bisa dilihat. Kapan terakhir megang spuit (jarum suntik)? Lupa.
Akhirnya dengan segala perasaan yang campur aduk, pasrah
pada yang di atas. Ya, klasik. Pada posisi yang mengerikan, mayoritas manusia
akan teringat pada Tuhannya.
“Peganglah itu nya,” kata si Abang.
Dengan segala doa yang terucap di hati, yak akhirnya di
pegang juga. Dan dicari bagian yang mau disuntiknya. Kata kakak yang
membimbing, di sana.
Haaaaah, udah gatau lagi gimana mengungkapkan perasaan ini. Ternyata
ini lebih mendebarkan daripada “jatuh cinta” jaman SD dulu, hahaha *aseeeeek
Untung aja tangan ini ga tremor alias ga bergetar-getar..
Jarumnya menembus kulit, semakin dalam dan semakin dalam,
ntah di mana dia berada. Otak ini berusaha membayangkan si jarum udah sampe
mana.
“udah kerasa sensasi menusuk kertasnya, dek?” tanya kak
Della.
“Belum kak.” (berusaha menenangkan diri)
“Yaudah tusuk. Cari sampe ketemu.” Kata si abang, lalu
memalingkan wajah ke arah lain, seolah mengisyaratkan ‘pokoknya kamu harus
bisa, ga ada tapi-tapi.’
Cuma bisa diam, sambil berusaha mencari. Keringat udah
banjir. Banjir sebanjir-banjirnya. Setara dengan orang yang lari keliling
stadion 3 keliling, rasanya.
“Ga ketemu bang. Gimana bang?”
Terjadi diskusi...
“Cabut jarumnya, tusuk agak ke bawah setek.” Kata si abang
akhirnya.
“Cabut lagi bang?” (Sambil mencabut jarumnya dan
membayangkan perasaan di adek ditusuk dua kali. Ya Allah, maafkan kakak dek ._.
)
Selesai mencabut jarum, waktu mau nusuk di tempat lain,
terlihat muka si adek yang benar-benar cemas. Cemas, sangat cemas. Tangannya digenggamnya.
Kain sarungnya digigit, mungkin untuk menahan sakit dan takut. Tapi beliau
berusaha diam. Tampak air mata di sudut matanya. Deg! Beliau menatap
langit-langit dengan penuh ketakutan, dan menangis dalam diam.
“Awiiii, aman wi? Sebentar ya kakak liat dulu.” Berusaha agar
adek tersebut merasa ada “kawan” di sana. Cuma memanggil nama dan ngomong
sedikit, itu yang bisa kulakukan saat itu. Ga bisa ngobrol panjang dan
menanyakan kehidupan mereka seperti kalo aku jadi runner.
Apa itu runner? Biasanya sirkumsisi massal atau yang dikenal
dengan sunnatan massal di sini, ada ‘runner’ yang akan mengajak adek yang
disunat mengobrol, agar nyeri yang terasa ketika disuntik itu teralihkan. Tapi,
sekarang ga ada. Ga ada.
“Kali ini sensasi menusuk kertas itu harus ketemu, jangan
sampe Awi merasakan sakit untuk yang kedua kalinya. Bayangkan itu kamu, Thika.
Cari!” monolog ku terhadap diri sendiri.
Bismillah, akhirnya ditusuk lagi. Deg! Astaghfirullah belum
terasa. Kutusuk lagi sedikit ke bawah. Terasa! Alhamdulillah.
“Terasa kak,”
“Terasa kak,”
“Aspirasi, jangan sampe ada darah, terus suntik setengah cc,”
kata Kak Della.
“udah kak.”
“Nah, miringkan 45 derajat. Cari sensasi menusuk kertas lai,”
kata abang itu.
“Menusuk kertas lagi bang?”
“Iya, cari sampe ketemu.”
Tidak! Kenapa harus mencari sensasi itu lagi. Ya Allah,
rasanya seolah sedang berada di mana ini. Mau cepat-cepat berakhir. Keringat pun
rasanya ga kering-kering meskipun udah di lap berkali-kali.
“ga ketemu bang.” Ucapku mulai cemas. Kulihat wajah Awi,
ketakutan sambil memejamkan matanya. Kasian adik kecil itu. Tidak tega rasanya
jika harus mengeluarkan jarum itu lagi dan menyakiti Awi lagi.
“Cari sampe ketemu. Ubek-ubeklah di dalam itu, kalo jarumnya
di dalam ndak baa do diputa-puta,” ucapnya dengan bahasa Minangnya.
Ya, sakitnya jarum suntik itu hanya ketika menembus kulit
bagian atas, karena di sana terdapat saraf nyeri. Tapi ketika sudah di dalam,
ga akan terasa nyeri. Teringat kata dosen dulu.
Awi cemas, akupun cemas. Ya Allah, semoga ketemu.
Tek! Apakah ini rasanya? Ya.. sepertinya iya. Aku berusaha
meyakinkan diri sendiri, “ketemu bang.”
“Aspirasi, terus injeksikan lah lagi.”
Akhirnya setelah 5 titik diinjeksi, bius pun selesai.
Di tes dulu apakah obat yang diberikan udah mulai bekerja
dan cukup. Preputium (bagian ujung pen*s) Awi pun dijepit pake klem.
“Apa yang terasa wi? Sakit?” Awi menggeleng.
Terus pen*snya dan sekelilingnya ditarik perlahan, dicubit. Dan
ditanya lagi, apa yang terasa?
Si adek menggeleng. Itu artinya, biusnya udah bekerja dan
cukup. Sip, bisa mulai dibersihkan smegma nya (kotoran yang ada di belakang
preputium), digunting, dijahit, dilihat ada perdarahan atau ga, di “make-up-in”,
selesai!
Selesai, akhirnya!! Alhamdulillah..
itu kulit dan mukosa nyata pertama yang pernah ku jahit, kulit dan mukosa pertama yang pernah ku gunting dan berdarah..
Awi, adik kecil manis yang strong.. J
wajah cemasnya, bahkan sampai malam ini belum menghilang dari pikiran.
Ketika melihat pasien ketakutan sampe nangis dalam diam aja udah kepikiran, gimana kalo pasien meninggal?
Tiba-tiba terpikir kata-kata Bu Budi waktu SMA dulu, “Saya gamau jadi dokter karena saya ga kuat ngeliat pasien saya meninggal. Apa saya sanggup terus menerus berada dalam kesedihan?”
Haaaah, mungkin masih harus banyak berlatih..
Selesai, akhirnya!! Alhamdulillah..
itu kulit dan mukosa nyata pertama yang pernah ku jahit, kulit dan mukosa pertama yang pernah ku gunting dan berdarah..
Awi, adik kecil manis yang strong.. J
wajah cemasnya, bahkan sampai malam ini belum menghilang dari pikiran.
Ketika melihat pasien ketakutan sampe nangis dalam diam aja udah kepikiran, gimana kalo pasien meninggal?
Tiba-tiba terpikir kata-kata Bu Budi waktu SMA dulu, “Saya gamau jadi dokter karena saya ga kuat ngeliat pasien saya meninggal. Apa saya sanggup terus menerus berada dalam kesedihan?”
Haaaah, mungkin masih harus banyak berlatih..
Bukan berarti berlatih untuk membuat orang takut, pun
berlatih untuk membuat orang meninggal.
Tapi, berlatih untuk menahan perasaan, berlatih untuk ikhlas,
berlatih untuk hidup..
Bukan cuma di kegiatan semacam ini, tapi di semua lorong-lorong kehidupan..
karena selama hidup, kita... BELAJAR* ^^
*judul buku yang ditulis oleh mantan Ketua BEM UI.
#bukanPromosi
(udah terlalu panjang, mungkin akan bersambung... :D )
Bukan cuma di kegiatan semacam ini, tapi di semua lorong-lorong kehidupan..
karena selama hidup, kita... BELAJAR* ^^
*judul buku yang ditulis oleh mantan Ketua BEM UI.
#bukanPromosi
(udah terlalu panjang, mungkin akan bersambung... :D )